Memperbaiki Diri



Imam al-ghazali mempunyai tips untuk orang yang ingin mengetahui aib dan kekurangannya dan ingin memperbaikinya.
  1. Meminta bantuan orang lain untuk menilai dan mengkritik diri kita. Meskipun pada awalnya orang tersebut kurang tepat dalam memberikan penilaian, namun nantinya akan benar juga.
     
  2. Menjauhi keramaian sebentar supaya kita bisa berkonsentrasi memikirkan diri. Rasanya sulit dan akan memakan banyak waktu bila kita mencari aib dan kekurangan kita di tengah-tengah keramaian.
     
  3. Memperhatikan perilaku orang. Jika kita melihat perilaku baik, maka kita tiru. Namun, bila kita melihat perilaku jelek, kita jauhi.
     
  4. Mencari kawan yang kita percayai dan yang mencintai kita karena Allah subhanahu wata'ala. Hendaknya kawan tersebut mempunyai ilmu yang cukup dan ikhlas ketika memberi nasihat. Jika kita telah mendapatkannya, maka kita pasrahkan diri kita di hadapan mereka supaya mereka memberikan nasihat-nasihat yang baik kepada kita. Setelah itu hendaknya kita sering berkata, "Semoga Allah subhanahu wata'ala mengasihi orang yang telah menunjukkan kekurangan dan aibku."
Referensi :
Nasihat Untuk Orang-orang Lalai oleh Khalid A. Mu'thi Khalif-Halaman 85
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_KB3g-77eZfUJ1RfLNSGR0wmpao53KmXH24YKGkzbB5bVcgoQZ89P4WdjJxC4hdOuUFeJbudczJPUtwpXUAb0Pb6T5Fb5r_Og2OK2C3xfsoDAdQJT8v47Ghk3YX1HieFkhnazdvut58eF/s1600/al-quran.jpg

Kriteria Pemimpin


Kriteria pemimpin (amir/imam) yang dicanangkan Nabi dan ditambah kriteria dari al-Qur'an itu diterjemahkan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam at-Sultaniyyah ada enam . 
Enam kriteria itu adalah

  1. Berperilaku Adil
  2. Memiliki Ilmu untuk mengambil Keputusan
  3. Panca Indra yang sehat (khususnya alat dengar, melihat dan alat bicara)
  4. Sehat secara Fisik dan tidak cacat
  5. Tegas dan Percaya diri.

selengkapnya:http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=444%3Akriteria-pemimpin-&catid=2%3Ahamid-fahmy-zarkasyi&Itemid=2

Referensi:
Buletin Salahuddin-Jum'at 30 November 2012/halaman ke-2
http://dc715.files.wordpress.com/2012/02/15-sifat-yg-membuat-pemimpin-disukai.jpg

Keistimewaan Ramadhan

3 Golongan Manusia Menyikapi Istilah Hikmah dalam Berdakwah

1."Pokoknya mulai hari ini bapak dan ibu tidak boleh lagi pergi ke dukun dan tidak boleh lagi sedekah bumi, tidak boleh lagi ikut maulidan dan tahlilan serta tidak boleh nonton TV. Bapak harus memendekkan celana panjang di atas mata kaki. Dan ibu harus memakai cadar!!".

Demikian "intruksi" seorang pemuda yang baru 'ngaji' kepada bapak dan ibunya.

"Memang kenapa?!" tanya orang tuanya dengan nada tinggi."
karena itu syirik, bid'ah dan maksiat!" jawab si anak berargumentasi.

"Kamu itu anak kemarin sore, tahu apa?! Tidak usah macam-macam,
kalau tidak mau tinggal di rumah ini keluar saja!!"
si bapak dan ibu menutup perdebatan tersebut.

Salah seorang sahabat pemuda tadi yang lebih lama 'ngaji' dan lebih banyak makan asam garam kehidupan, menasehati temannya yang tengah bersemangat empat-lima dalam menasehati orang tuanya.

"Bertahaplah akhi dalam mengingkari kemungkaran-kemungkaran yang ada di rumah antum...1

Antum harus bersikap lebih hikmah...".

"Lho, bukankah kita harus menyampaikan yang haq meskipun itu pahit?!", jawab si pemuda itu dengan penuh tanda tanya.

Mungkin 'insiden' di atas pernah terjadi di suatu rumah di tanah air.

2.Di tempat lain, seorang 'juru dakwah' namun minim ilmu, kerap ikut larut dalam ritual-ritual syirik dan acara-acara bid'ah 2, sambil sesekali bermusik ria 3 dengan dalih masyarakat sebelum mendakwahi mereka.
ketika ada seorang yang komplain kepadanya,

"Akhi, itu kan acara-acara syirik, bid'ah dan maksiat? Kenapa antum ikut hanyut di dalamnya?".

"Kita harus bersikap hikmah dalam berdakwah, kalau kita tidak mengikuti acara-acara itu terlebih dahulu, masyarakat akan lari dan menjauhi kita!

Bukankah Islam itu rahmatan lil 'âlamîn?" jawab si 'juru dakwah' tadi dengan ringan.

Dua penggal dialog di atas setidak-tidaknya bisa mewakili dua kelompok orang yang sangat bertolak hikmah dalam berdakwah.

Tiga golongan manusia dalam menyikapi istilah hikmah
  • Dalam menyikapi istilah hikmah manusia terbagi menjadi 3 golongan:
  1. Golongan yang tidak memperdulikan sikap hikmah dalam berdakwah, sehingga terkesan agak ngawur dalam berdakwah.
  2. Golongan yang terlalu longgar dalam memahami istilah hikmah , sehingga kerap 'mengorbankan' beberapa syariat Islam dengan alasan hikmah dalam berdakwah sebagaimana telah kita singgung sedikit di atas.
  3. Golongan yang pertengahan, yaitu golongan yang memahami kata hikmah dengan benar dan senatiasa menerapkan sikap hikmah dalam berdakwahnya; sehingga dia selalu mempertimbangkan setiap gerak-gerik serta metode yang ditempuhnya dalam berdakwah dengan pertimbangan ini.
Referensi:
14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah halaman 15-16


Da'i atau Qadhi ?



Pada suatu kesempatan Umar bin Khaththab mengintai masyarakat yang biasa minum khamar.

Ia masuk ke tempat kumpul orang-orang tersebut melalui pagar belakang. 

Ketika orang-orang itu melihat Umar, mereka lari terbirit-birit. 

Namun, ada seorang di antara mereka yang tidak pergi, 

bahkan berkata kepada Umar dengan mulut yang masih bau khamar,

 “Wahai Umar, kami hanya melakukan satu dosa. Adapun kamu telah melakukan tiga dosa.
Pertama, tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain).

Allah berfirman,
‘Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.’ (al-Hujurat:12)

Kedua, masuk ke ruangan dengan tanpa izin. 
Allah swt. Berfirman,
‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.’ (an-Nuur:27)

Ketiga, masuk dari pagar belakang. Allah swt. Berfirman,
‘Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.’ (al-Baqarah:189)

Kemudian Umar kembali ke rumahnya, menenangkan hati dan membaca mushaf Al-Qur’an. Ia berkata, “Cukuplah malam ini saja saya melakukan dosa.”

Wahai para da’I, 

janganlah Anda bersusah payah mencari-cari kesalahan orang lain atau meneliti kekurangan-kekurangan mereka dengan dalih hendak melakukan perbaikan. 

Hendaknya diketahui bahwa tujuan yang baik harus diraih dengan cara-cara yang baik pula. 

Kita tidak boleh sembarangan menggunakan cara, meskipun kita yakin bahwa tujuan kita baik. Dalam dakwah hendaknya yang dibicarakan adalah hal-hal yang baik dan positif serta disesuaikan dengan kebutuhan yang ada.

Referensi:
http://cp.jurnalhajiumroh.com/uploads/radhite/image/salju%20jazirah%20arab.jpg
Nasihat Untuk Orang-orang Lalai oleh Khalid A. Mu'thi Khalif halaman 77-78